Scroll untuk baca artikel
OpiniPolitik

Miskin karena Sistem, Ketimpangan Sosial sebagai Warisan Struktural, Oleh : Ucky Ackrillah,S.Sos.,M.A.P

558
×

Miskin karena Sistem, Ketimpangan Sosial sebagai Warisan Struktural, Oleh : Ucky Ackrillah,S.Sos.,M.A.P

Sebarkan artikel ini
Ucky Ackrillah. S.Sos.M.A.P / Dosen IAI Rawa Aopa

RedaksiSultra.Com-Ketika membicarakan kemiskinan, banyak yang dengan mudah menunjuk individu sebagai penyebab utama: malas bekerja, kurang berusaha, atau tidak mau belajar. Namun benarkah kemiskinan hanya lahir dari pilihan pribadi? Atau justru kemiskinan adalah hasil dari sistem sosial yang memang tak berpihak sejak awal?

Faktanya, ketimpangan sosial di Indonesia bukan semata soal siapa yang rajin atau malas. Ia merupakan warisan panjang dari struktur sosial yang timpang. Sejak masa kolonial, sumber daya alam dan manusia dikontrol oleh segelintir elit, sementara mayoritas masyarakat hanya menjadi tenaga pendukung dengan akses terbatas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kepemilikan tanah.

Redaksi Sultra .com

Sistem pendidikan, misalnya, masih cenderung berpihak pada mereka yang punya daya beli. Sekolah berkualitas menuntut biaya tinggi, sementara sekolah negeri di pelosok sering kali kekurangan guru, fasilitas, bahkan air bersih. Bagaimana mungkin seorang anak dari keluarga miskin bersaing setara dengan anak dari keluarga mapan jika titik awal mereka saja sudah berbeda jauh?

Demikian pula dengan akses ekonomi. Program pemberdayaan, bantuan usaha, dan pelatihan sering kali berhenti pada tataran simbolik. Padahal yang dibutuhkan bukan sekadar “memberi kail”, melainkan juga memastikan ada ikan di danau, dan bahwa semua boleh memancing di tempat yang sama.

Ironisnya, sistem hukum dan birokrasi pun sering tidak netral. Mereka yang punya uang dan koneksi lebih mudah mendapatkan izin, proyek, bahkan pembelaan hukum. Sementara kelompok miskin harus berjuang ekstra keras hanya untuk mendapat pengakuan hak dasar.

Miskin bukan karena tak mau berubah, tetapi karena sistem kadang tidak memberi ruang untuk berubah. Inilah bentuk ketimpangan struktural warisan yang terus diwariskan jika negara tidak sungguh-sungguh menata ulang sistemnya.

Sudah saatnya kita tidak lagi menyalahkan si miskin, tapi menantang sistem yang membuat mereka tetap miskin. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada keadilan distributif, memperbaiki kualitas layanan publik, dan memastikan setiap warga negara memiliki titik awal yang setara.

Karena selama ketimpangan dibiarkan hidup, keadilan sosial hanya akan jadi slogan bukan kenyataan.

Namun kritik saja tidak cukup tanpa solusi konkret. Maka, ada beberapa langkah strategis yang seharusnya diambil Pemerintah untuk memutus mata rantai ketimpangan struktural ini.

Pertama, melalui reformasi pendidikan yang adil dan merata. Pemerataan kualitas guru, fasilitas, dan akses beasiswa di daerah terpencil harus menjadi prioritas utama agar anak-anak dari keluarga miskin punya peluang yang setara untuk maju.

Kedua, penguatan perlindungan sosial yang tidak hanya bersifat karitatif, tapi juga memberdayakan. Program bantuan seperti PKH dan BLT harus didesain bersamaan dengan pelatihan keterampilan, akses modal UMKM, dan pendampingan usaha agar masyarakat tidak terus bergantung, tetapi bisa bangkit secara mandiri.

Ketiga, perluasan jangkauan layanan dasar, seperti kesehatan, transportasi, dan perumahan layak, khususnya bagi masyarakat marjinal di daerah padat dan wilayah pinggiran. Ketimpangan layanan publik menjadi akar ketimpangan jangka panjang yang terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Keempat, negara perlu mengevaluasi ulang sistem perpajakan dan alokasi anggaran. Pajak progresif terhadap kelompok kaya dan korporasi besar dapat menjadi sumber pembiayaan bagi program-program pro-rakyat. Sementara anggaran publik harus difokuskan pada pembangunan yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat kecil, bukan hanya proyek prestisius yang menguntungkan segelintir elit.

Dengan langkah-langkah sistemik seperti ini, Indonesia bisa benar-benar bergerak ke arah keadilan sosial yang bukan sekadar jargon, melainkan realitas yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Karena keadilan bukan ketika semua orang diperlakukan sama, tapi ketika mereka diberi kesempatan yang sama untuk hidup layak apa pun latar belakangnya.